Halaman

Rabu, 21 Maret 2012

Sajak tentang aku, aku, aku


Suasana gelap kadang indah, pohon bambu, kelapa, dan semak membentuk bayang bercorak dengan latar biru muda, begitulah suasana hati petang di bumi. Bilakah arti cinta semudah ku merangkai hari, banyak sudah manusia menangis ratapi hari sepi yang mencabik hati, ingin sudah remaja bercurah hati di hari deraan yang mencambuk sanubari.
Gema shubuh bangunkan jiwa yang lelah akan dunia, kupaksa raga penuh sayatan luka menggeliat tanpa pedulikan perih hembusan nafas jauh darinya, bilakah ku tetap seperti ini, tak mungkinlah ku dapat hari indah bermandikan cahaya surga dengan aliran sungai penuh rahmatnya, hanyalah tawa yang menangis menunggu kepastian tanpa ujung, tanpa kesempatan berteduh memanjakan tubuh yang letih dan terluka. Oh Tuhan, sungguh hebat cobaan ini kurasa, berikanlah aku kekuatan menjalaninya, amien.
Tiada beda, cercakan langit gagah membiru akhiri malam beku, malu-malu ku tatap senyum wajah kasih hatiku, dalam deburan kebimbangan kini ku bertahan tegakkan tulang patahku, menahan sakit demi satu senyum kepadamu. Mungkinkah kau benar-benar tau yang kurasa darimu, lebihlah jika hanya dari suka cita manusia seperti mereka, percaya atau tidak ku memanglah tak sama.
Hari ini, puncak remuk hatiku, tamparan bagai hujan panah menghantui tiap langkah semuku, tak tau bisa tidakkah kuanggap hari ini sebagai sabtu di lukisan hidupku. Rupa indah menanti saat ku  terlempar tanpa henti dibelakangmu, haruskah kau merasa ku disampingmu tanpa raga memeluk hangat hatimu.
Haruskah kurangkai seribu kata, tentang lembut cahaya surga, tentang kasih yang lupa akan luas dalam samudera, tentang barisan catatan malam indahku dengannya, atau tentang sunyinya pertiwi tanpa getar kata-kata, semua ini kutulis tentangmu dan untukmu.
Cahaya merahmu kini meredup dihatiku, bukan salah bunda ku tak kuasa lukis indah rona wajahmu


Gurnito,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar