Saat ini Indonesia merupakan
salah satu negara berkembang yang tinggal beberapa tapak lagi akan menjadi
negara besar. Perjalanan tersebut tidaklah mulus, ada berbagai hal yang
mengganjal menunggu untuk diselesaikan. Masalah tersebut mau tidak mau harus
dapat diselesaikan karena apabila berlarut – larut malah akan mengganggu
pembangunan Indonesia. Masalah tersebut adalah pengangguran, kemiskinan,
inflasi, dan hutang. Keempat masalah tersebut saya sebut sebagai ‘4 Masalah
Besar Perekonomian Indonesia’. Diperlukan strategi yang komprehensif untuk
menangani masalah besar tersebut.
Apabila kita melihat
kepada sejarah perekonomian Indonesia, maka kita akan melihat berbagai bencana
perekonomian Indonesia. Salah satunya adalah Krisis Moneter Tahun 1998. Ditengah
hancurnya perekonomian Indonesia dan banyaknya perusahaan yang bangkrut,
terdapat bidang usaha rakyat yang tetap berdiri kokoh. Bidang usaha tersebut
adalah Usaha Mikro, Kecil, dan Menegah (UMKM). UMKM di Indonesia terbukti tahan
terhadap berbagai goncangan krisis ekonomi. Saelain itu, yang lebih penting
adalah mereka mempunyai peranan besar terhadap kehidupan ekonomi. Oleh karena
itu, perlu adanya pengembangan UMKM sebagai strategi untuk membangun ekonomi
Indonesia.
Menurut
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008, UMKM mempunyai kriteria masing – masing,
yaitu:
- Usaha mikro adalah usaha
produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi
kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.
- Usaha Kecil Adalah
usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang
perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan
cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung
maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi
kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang.
- Usaha
Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh
orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau
cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung
maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar dengan jumlah
kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang.
No
|
Usaha
|
Kriteria
|
Asset
|
Omzet
|
1
|
Usaha Mikro
|
Maks. 50 juta
|
Maks. 300 juta
|
2
|
Usaha Kecil
|
50 – 500 juta
|
300 juta – 2,5 milyar
|
3
|
Usaha Menengah
|
500 juta – 10 milyar
|
2,5 – 50 milyar
|
Selain
itu, terdapat pula pengertian UMKM dari sudut pandang perkembangannya, yaitu:
- Livelihood
Activities, merupakan Usaha Kecil Menengah yang digunakan sebagai kesempatan kerja
untuk mencari nafkah, yang lebih umum dikenal sebagai sektor informal.
Contohnya adalah pedagang kaki lima.
- Micro
Enterprise, merupakan Usaha Kecil Menengah yang memiliki sifat pengrajin tetapi belum
memiliki sifat kewirausahaan.
- Small Dynamic
Enterprise, merupakan Usaha Kecil Menengah yang telah memiliki jiwa kewirausahaan dan
mampu menerima pekerjaan subkontrak dan ekspor.
- Fast Moving
Enterprise, merupakam Usaha Kecil Menengah yang telah memiliki jiwa kewirausahaan dan
akan melakukan transformasi menjadi Usaha Besar (UB).
Sejarah ekonomi Indonesia selama
empat tahun dilanda krisis 1997-2001 hingga saat ini menunjukan perkembangan
yang menarik mengenai posisi UMKM yang secara relatif menjadi semakin besar
sumbangannya terhadap pembentukan PDB. Hal tersebut menunjukan bahwa kedudukan UMKM
di Indonesia semakin kokoh. Kesimpulan tersebut memperkuat kesadaran baru akan
posisi penting pembangunan UKM di tanah air.
Secara garis besar kebijakan
Pemerintah dalam pengembangan UMKM semasa krisis dimulai dengan menggerakkan
sektor ekonomi rakyat dan koperasi untuk pemulihan produksi dan distribusi
kebutuhan pokok yang macet akibat krisis Mei 1998. Hingga akhir tahun 1999 upaya
ini secara meluas didukung dengan penyediaan berbagai skema kredit program yang
kemudian mengalami kemacetan. Sejak tahun 2000 dengan keluarnya UU 25 tentang
PROPENAS secara garis besar kebijakan pengembangan UKM ditempuh dengan tiga kebijakan
pokok yaitu:
a.
Penciptaan iklim kondusif,
b.
Meningkatkan akses kepada sumberdaya produktif, dan
c.
Pengembangan kewirausahaan.
Dalam perjalanan usahanya, UMKM akan
mengalami banyak masalah. Berikut akan disajikan masalah – masalah yang sering
dialami oleh UMKM.
Jenis Kesulitan
|
IKR
|
IK
|
1.
Kesulitan Modal
|
40,48%
|
36,63%
|
2.
Pengadaan Bahan Baku
|
23,75%
|
16,76%
|
3.
Pemasaran
|
16,96%
|
4,43%
|
4. Teknik
Produksi dan Manajemen
|
3,07%
|
26,89%
|
5.
Persaingan
|
15,74%
|
17,36%
|
Sumber: Data
BPS terolah (1998)
IKR : Industri Kecil Rumah Tangga
IK : Industri Kecil
Dari berbagai masalah yang sering
dihadapi UMKM diatas, hal pertama yang harus dipecahkan adalah permasalahan
modal. Modal merupakan syarat utama untuk membangun sebuah usaha, sehingga
perannya sangatlah vital. Para pelaku UMKM mendapat modal dari berbagai sumber,
yaitu:
Uraian
|
IKR
|
IK
|
1. Modal sendiri
2. Modal pinjaman
3. Modal sendiri dan pinjaman
|
90,36%
3,20%
6,44%
|
69,82%
4,76%
25,42%
|
Jumlah
|
100 %
|
100 %
|
Asal
Pinjaman
1. Bank
2.
Koperasi
3.
Institusi lain
4. Lain –
lain
|
18,79%
7,09%
8,25%
70,35%
|
59,78%
4,85%
7,63%
32,16%
|
Sumber: Data BPS terolah (1998)
Realitas di atas membuktikan bahwa pengusaha
mikro bukanlah “orang yang tidak punya”
(the have not), mereka “punya” tetapi
sedikit (the have little). Meski
dengan sedikitnya apa yang mereka miliki, mereka tetap ulet berusaha. Hal itu
diperlihatkan dari data di atas, lebih dari 90% pengusaha mikro (industri kecil
rumah tangga / IKR) mengandalkan modal sendiri.
Sementara itu bila mereka meminjam
dana untuk modal, lebih dari 70% berasal dari lain-lain (bukan lembaga keuangan
formal / bank). Dari pengalaman lapangan, yang dimaksud dengan “lain-lain”,
mayoritas dari usaha mikro tersebut terjebak pada money lender (rentenir). Kisaran bunga utang dari rentenir sangat
tinggi. Meski demikian, herannya pengusaha mikro hidup dan berjalan dengan
sistem tersebut. Namun tentu saja mereka tetap terbonsai dan sulit untuk
berkembang.
Salah satu cara untuk memecahkan
persoalan yang pelik itu, yaitu pembiayaan masyarakat miskin pengusaha mikro,
adalah melalui keuangan makro. Di Indonesia sendiri hal itu bukan barang baru.
Bank Rakyat Indonesia yang didirikan sejak 100 tahun lalu pun sudah mengarah
seperti itu. Dalam lingkup dunia, pendekatan kredit mikro mendapatkan momentum
baru, yaitu dengan adanya Macrocredit
Summit (MS) di Washington pada tanggal 2 – 4 Februari 1997. MS merupakan
tanda dimulainya gerakan global pemberdayaan masyarakat dengan penguatan dana
kepada masyarakat dengan berdasarkan pengalaman dari banyak negara. MS juga
memberi semacam semangat baru karena MS tidak hanya menampilkan keragaan
keberhasilan kegiatan keuangan mikro dalam memberdayakan masyarakat
(perekonomian rakyat), tetapi juga mematrikan suatu janji bersama untuk
menanggulangi kemiskinan global sebanyak 100 juta keluarga (atau sekitar 600
juta jiwa).
Keuangan mikro berfungsi memberikan
dukungan modal bagi pengusaha mikro (microenterprises)
untuk meningkatkan usahanya, setelah itu usaha mereka akan berjalan lebih
lancar dan lebih “besar”. Kebutuhan dana bagi microenterprises setelah mendapat dukungan modal itu akan
meningkat, sehingga dibutuhkan Lembaga Keuangan Masyarakat (Mikro) yang dapat
secara terus menerus melayani kebutuhan mereka.
Dalam mengembangkan keuangan mikro
untuk melayani masyarakat miskin (economically
active poor) tersebut, terdapat beberapa alternatif yang bisa dilakukan :
1.
Banking of the poor
Bentuk
ini mendasarkan diri pada saving led
microfinance, dimana mobilisasi keuangan mendasarkan diri dari kemampuan
yang dimiliki oleh masyarakat miskin itu sendiri. Bentuk ini juga mendasarkan
pula atas membership base dimana
keanggotaan dan partisipasinya terhadap kelembagaan mempunyai makna yang
penting. Bentuk-bentuk yang telah terlembaga di masyarakat antara lain:
Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), Kelompok Usaha Bersama, Credit Union (CU), Koperasi Simpan Pinjam (KSP), dan lain-lain.
2.
Banking with the poor
Bentuk
ini mendasarkan diri dari memanfaatkan kelembagaan yang telah ada, baik
kelembagaan (organisasi) sosial masyarakat yang mayoritas bersifat informal
atau yang sering disebut Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) serta lembaga
keuangan formal (bank). Kedua lembaga yang nature-nya berbeda itu, diupayakan
untuk diorganisir dan dihubungkan atas dasar semangat simbiose mutualisme, atau
saling menguntungkan. Pihak bank akan mendapat nasabah yang makin banyak (outreaching), sementara pihak masyarakat
miskin akan mendapat akses untuk mendapatkan financial support. Di Indonesia, hal ini dikenal dengan pola yang
sering disebut Pola Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK).
3.
Banking for the poor
Bentuk
ini mendasarkan diri atas credit led
institution dimana sumber dari financial
support terutama bukan diperoleh dari mobilisasi tabungan masyarakat
miskin, namun memperoleh dari sumber lain yang memang ditujukan untuk
masyarakat miskin. Dengan demikian tersedia dana cukup besar yang memang
ditujukan kepada masyarakat miskin melalui kredit. Contoh bentuk ini adalah:
Badan Kredit Desa (BKD), Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP), Grameen Bank,
ASA, dan lain-lain.
Bentuk
pertama (Banking of the poor) menekankan
pada aspek pendidikan bagi masyarakat miskin, serta melatih kemandirian. Bentuk
ketiga (Banking for the poor)
menekankan pada penggalangan resources yang dijadikan modal (capital heavy), yang ditujukan untuk
masyarakat miskin. Sedangkan bentuk kedua (Banking
with the poor) lebih menekankan pada fungsi penghubung (intermediary) dan memanfaatkan
kelembagaan yang telah ada (Bambang Ismawan, 2003).
UMKM dalam perekonomian Indonesia mempunyai
beberapa peranan penting, yaitu :
a.
Kedudukannya sebagai pemain utama dalam kegiatan
ekonomi di berbagai sektor;
b.
Penyedia lapangan kerja yang terbesar;
c.
Pemain penting dalam pengembangan kegiatan ekonomi
lokal dan pemberdayaan masyarakat;
d.
Pencipta pasar baru dan inovasi; serta
e. Sumbangan dalam menjaga neraca pembayaran melalui
sumbangannya dalam menghasilkan ekspor. (Putra, 2009).
Gurnito Dwidagdo